Posted by : Unknown Kamis, 19 Maret 2015



MAKALAH
EPILEPSI BUKAN PENYAKIT MENULAR
Description: SMANDUNG.JPG
Guru Pembimbing `     : Dra.Endang Widiastuti
Disusun oleh                   :

1. Risyanti           (22)
2. Zakiyah            (26)

SMA N 1 KEDUNGWUNI
Jalan Paesan Utara Kedungwuni Kab. Pekalongan Telp. (0285)785434


Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, karena Penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Epilepsi Bukan Penyakit Menular” , suatu permasalahan yang sering dilupakan oleh banyak orang. Padahal dapat menimbulakan permasalahan yang cukup besar.
Makalah ini di susun berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah penulis lakukan dengan mencari informasi di berbagai media, salah satunya internet. Makalah ini di susun untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai penyakita epilepsi dan untuk kembali mengingatkan masyarakat untuk tidak menjauhi penderita epilepsi.Selain itu semoga setelah membaca makalah ini masyarakat tahu bahwa epilepsi bukan penyakit menular.
Dalam penyelesaian Makalah ini banyak kesulitan yang Penulis temui, seperti adanya perbedaan pendapat pada setiap sumber yang Penulis temui . Namun Penulis berusaha untuk menutupi kesulitan dalam pembuatan Makalah ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu menyusun Makalah ini dari awal sampai akhir, kepada guru pembimbing Ibu Endang Widiastuti ,dan tidak lupa pula kepada teman – teman.
Penulis berharap Makalah ini dapat memenuhi tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan bermanfaat bagi pembaca,dan bagi adik – adik kelas.Penulis berusaha menyusun Makalah ini dengan sebaik mungkin, dan apabila dalam penyusunan Makalah ini ada kesalahan dan kekurangan, penulis mengharapkan saran dan kritik nya.





Kedungwuni, 18 Februari 2013
Penulis







Daftar Isi

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang ................................................................................................. 4
B.     Perumusan Masalah ......................................................................................... 5
C.     Tujuan…………............................................................................................... 5
D.    Metodologi Penulisan........................................................................................5
BAB II  ISI
A.    Landasan Teori……………..........................................................................…6
1.      Klasifikasi epilepsi………….........................................................…...6
2.      Sindrom epilepsi………………………………....................…………6
B.     Pembahasan Masalah……………………….....................................................8
1.      Penyebab epilepsi………………………………………………...........8
2.      Epilepsi tidak menular.....................................................................….10
3.      Epileps dapat disembuhkan…..............................................................12
4.      Cara memberikan pertolongan pertama pada penderita epilepsi..........12         
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan…...................................................................................................13
B.     Saran…….........................................................................................................13
Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
      Epilepsi merupakan topik yang luas dan berkembang cukup pesat. Pengetahuan kita mengenai epilepsi perlu sewaktu-waktu disegarkan dan ditambah dengan informasi yang baru.
      Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang. International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan “ilmu klenik”, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
          Serangan pertama pada sebagian besar penderita epilepsi telah terjadi semasa anak-anak, sekitar 55 % terjadi sebelum berusia 10 tahun. Untuk meningkatkan penaggulangan epilepsi secara keseluruhan, perlu ditingkatkan penanggulangan epilepsi pada anak-anak dan remaja. Dalam menangani epilepsi perlu diciptakan kerjasama yang baik antara orang tua, pengasuh, dokter, penderita, anggota masyarakat yang bayak hubungannya dengan penderita,misalnya guru di sekolah. Kerjasama yang baik berpengaruh positif terhadap hasil terapi, baik dari segi perkembangan kepribadian, mental, penyesuaian diri terhadap lingkungan, maupun dari segi mencegah kambuhnya serangan.
          Keputusan untuk memulai pengunaan obat-obat anti epilepsi ( OAE ) pada seorang anak penderita epilepsi dapat mempunyai dampak yang besar bagi kehidupannya dalam keadaan tertentu. Hal itu juga dapat menjadi suatu konfirmasi final untuk diagnosa epilepsi, yang berarti penderita tersebut harus memakai obat  secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang. Sejumlah penelitian dalam beberapa tahun terakhir ini mengemukakan resiko berulangnya pada anak penderita epilepsi yang berhenti minum OAE secara tiba-tiba begitu mereka bebas serangan.




B. Perumusan Masalah
1.    Apakah penyebab epilepsi?
2.    Apakah epilepsi adalah penyakit menular ?
3.    Apakah penyakit epilepsi dapat disembuhkan ?
4.    Bagaimana memperlakukan penderita epilepsi ?

C.Tujuan
Adapun tujuan yang dari penulisan makalah ini yaitu dapat mengetahui tentang penyebab epilepsi,untuk dapat mengetahui apakah epilepsi tergolong penyakit menular atau bukan,untuk mengetahui apakah epilepsi dapat di sembuhkan atau tidak, dan untuk mengetahui bagaimana cara memperlakukan penderita epilepsi.

D. Metodologi Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunaakan metodologi penulisan berupa pengumpulan data dari  buku-buku mengenai lingkungan hidup, obat herbal dan data dari internet. Sehingga apabila dalam penulisan makalah ini ada kata-kata atau kalimat yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan merupakan unsur ketidaksengajaan.











BAB II
ISI
A.Landasan Teori
      Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.
Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membrane sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.
1.     Klasifikasi epilepsi :
a.    Kejang parsial ( fokal, lokal )
Ditandai dengan gejala motorik, gejala somatosensoris seperti : halusinasi visual,auditoris dan vertigo. Gejala perubahan kesadaran.
b.    Kejang umum
Ditandai dengan gejala perubahan kesadaran sementaradan gerakan klonik.

2.     Sindrom epilepsi :
a.    Benign Childhood Epilepsy With Centrotemporal Spikes.

      pada usia 2-13 tahun, tersering antara 5-10 tahun, laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan. Serangan terjadi pada anak normal. Terlihat dominasi gejala orofaringeal berupa salivasi, tidak dapat bicara, gerak involunter mulut dan farings, suara tenggorok, kontraksi tonik atau klonik lidah, dagu, atau salah satu sisi wajah, rasa baal atau parestesia dagu, gusi dan lidah.


b.   Epilepsi pada Anak dengan Paroksimalitas Oksipital (Childhood Epilepsy with occipital Paroxysms)
    terjadi pada usia 6 tahun, sebagai seranan parsial dengan gejala visual dominan, berupa buta sejenak, halusinasi berbentuk atau tidak berbentuk. Serangan dapat terbatas hanya pada gejala visual atau terjadi serangan hemiklonik, parsial kompleks atau tonik-klonik umum. Pasca kejang dapat terjadi sakit kepala, neusea dan muntah.
Ada beragam ekspresi serangan epilepsi seperti kejang, gerakan tidak normal, dan aneh. Satu hal yang harus diingat, bahwa epilepsi tidak selalu harus berarti kejang dan sebaliknya, kejang juga belum tentu epilepsi. Gerakan yang timbul dapat hanya sebagai gerakan melamun saja, misalnya tiba-tiba penderita menghentikan kegiatannya dan bola matanya seolah-olah memandang jauh kedepan sampai gerakan aneh seperti gerakan melingkar, kepala miring dan lengan lurus (keadaan ini disebut versif). Ada pula ekspresi serangan berupa nyeri (pada kepala, lengan, punggung, dll), baal/kesemutan, gangguan kesadaran, pelo, ngompol, muntah, berkeringat, atau mimisan.
Sebagai contoh, serangan yang sifatnya tonik klonik, akan menimbulkan serangan berupa mendadak berteriak kemudian jatuh tak sadarkan diri, seluruh tubuh kaku (tonik) kemudian menghentak-menghentak (klonik), bola mata berputar ke atas, mulut berbuih, keluar keringat dingin, kulit kebiruan, nafas dangkal atau terhenti. Serangan berlangsung beberapa menit. Ketika serangan reda, nafas menjadi teratur kembali, kesadaran pulih secara bertahap dan penderita tampak bingung.
Pada kasus yang lain, serangan bersifat absence menunjukkan gejala berupa penderita menghentikan aktifitasnya secara mendadak, mata terbuka seolah melihat jauh/melamun, kadang disertai gerakan mata berkedip-kedip secara cepat dan mulutnya komat-kamit. Serangan ini berlangsung selama beberapa detik kemudian penderita melanjutkan kembali aktifitasnya seolah tidak terjadi apa-apa. Pada serangan absence ini penderita tidak sampai jatuh.
Jika kita mendapati salah satu anggota keluarga atau orang yang kita kenal menunjukkan tanda-tanda atau gejala yang mengarah pada epilepsi, sebaiknya kita sarankan supaya berkonsultasi dengan dokter ahli. Penderita akan diperiksa secara menyeluruh dan jika perlu dilakukan pemeriksaan EEG (Electro Encephalography). Hendaknya penderita dan pihak keluarga bersikap terbuka pada dokter dan menceritakan secara detail apa yang dialami penderita. Keterangan tersebut akan sangat membantu dokter dalam menentukan diagnosis dan terapi selanjutnya.
Perhatikan hal-hal apa saja yang bisa mencetuskan serangan epilepsi pada penderita dan sebisa mungkin cegahlah supaya hal-hal tersebut tidak mencetuskan serangan epilepsi. Misalnya saja, jika penderita peka terhadap cahaya maka sebaiknya penderita tidur dalam kondisi lampu redup atau dimatikan.
Penderita epilepsi berisiko tinggi mengalami cedera, maka sebaiknya penderita tidak mengendarai kendaraan sendiri dan selalu ditemani jika akan berpergian. Pada beberapa kasus, penderita yang sudah terbiasa bisa mengetahui jika dirinya akan mengalami serangan sehingga dirinya akan segera mencari tempat yang aman.
Berilah dukungan serta ingatkan untuk minum obat dan kontrol secara teratur karena biasanya pengobatan untuk penderita epilepsi membutuhkan waktu cukup lama. Mintalah dukungan lingkungan sekitar, dan usahakan jangan sampai penderita dikucilkan. Jika penderita masih sekolah, libatkan guru di sekolahnya supaya bisa memahami kondisi penderita, terutama yang menyangkut masalah akademis. Biasanya penderita cenderung sering izin tidak masuk sekolah karena sakit atau kontrol ke dokter. Pada dasarnya penderita epilepsi tidak dilarang untuk bekerja.

B.Pembahasan Masalah
1. Penyebab epilepsi
Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang  mengidap epilepsi. Mulai dari saat kehamilan, ketika sang ibu mengalami gangguan seperti infeksi, demam tinggi, atau malnutrisi.

  Proses persalinan yang bermasalah atau telat bulan juga bisa mengurangi asupan zat asam atau gangguan otak lain, seperti infeksi atau radang selaput otak.

  Selain itu, cedera di kepala janin akibat benturan fisik dan tumor, atau pun kelainan pembuluh darah pada otak juga bisa menyebabkan janin berpotensi mengidap epilepsi.

  Meski banyak yang mengira epilepsi adalah masalah keturunan, namun hanya 1 persen dari total penyandang epilepsi yang mendapatkannya akibat genetika.

  Serangan epilepsi seperti kejang-kejang disebabkan listrik abnormal di otak yang juga menyebabkan bentuk serangan lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran, dan perubahan lain yang hilang timbul. Gangguan listrik di otak tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan jaringan misalnya tumor otak, cedera kepala, atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi otak (menigitis, encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika serta sekitar 30 persen tidak diketahui penyebabnya.
2. Epilepsi bukan penyakit menular
Epilepsi sering diidentikkan dengan penyakit yang menakutkan. Padahal epilepsi secara medis adalah penyakit akibat adanya gangguan pada otak.Pada masyarakat awam, epilepsi lebih dikenal dengan nama ayan.
Penyakit ini sangat menakutkan bagi masyarakat, terutama mereka yang berpendidikan rendah. Epilepsi bahkan dianggap sebagai penyakit kerasukan roh hingga kegilaan yang parah.

Anggapan tersebut sebenarnya sangat beralasan karena jika pengidap epilepsi yang parah bisa mendadak mengalami serangan dan mereka sanggup melukai diri sendiri. Misalnya, membentur-benturkan kepala atau memukul-mukul tubuh mereka sendiri.

Serangan itu diiringi pula dengan keluarnya busa di mulut dan kejang yang berulang."Epilepsi sangat sulit dideteksi. Apalagi jika penderita mendapatkan epilepsi dengan serangannya ringan, misalnya kaget tanpa sebab tapi sering.

Epilepsi sebenarnya terjadi karena lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak pada otak sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu," kata dokter spesialis saraf yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada, dr Yolanda Atmadja SpS.Awal kata epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (epilepsia) yang berarti serangan.

Penyakit ini tidak menular dan bukan penyakit keturunan. Epilepsi juga tidak identik dengan orang yang mengalami keterbelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi yang mendapatkan epilepsi tanpa diketahui penyebabnya.

Sebenarnya, di dalam otak penderita epilepsi terdapat sel-sel saraf (neuron), yang bertugas mengoordinasikan semua aktivitas tubuh, termasuk perasaan, penglihatan, dan berpikir. Namun, bagi penderita epilepsi, otot saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadilah serangan yang membuat penderita epilepsi mendapatkan kejang, terdiam sejenak, kaget dengan sangat hebat, hingga kejang-kejang dengan busa di mulut.

Pada penderita epilepsi, saraf otak tidak berfungsi dengan baik. Penyebabnya adalah trauma kepala (pernah mengalami cedera di daerah kepala) ataupun tumor otak. Sering juga disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, stroke, dan konsumsi alkohol berlebih ketika si ibu sedang hamil.

Menurut Yolanda, seseorang dapat dinyatakan menderita epilepsi jika orang tersebut mengalami kejang yang bukan karena alkohol dan tekanan darah yang sangat rendah."Alat pendeteksi yang digunakan biasanya adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang menggunakan magnet sangat kuat untuk mendapatkan gambaran dalam tubuh atau otak seseorang. Bisa juga digunakan EEG (Electro Encephalo Graphy) alat untuk mengecek gelombang otak," katanya.

Lalu, yang disayangkan, Yolanda menyebutkan, adalah pandangan masyarakat terhadap epilepsi yang sangat buruk. Bahkan, secara umum, masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi."Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular dan penyakit jiwa. Selain itu, epilepsi juga bukan karena kemasukan roh dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan," sebut dokter berambut ikal tersebut.

Senada dengan Yolanda, ahli bedah saraf dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dharmawan mengatakan,epilepsi tidak menular dan bukan penyakit keturunan.
Kemudian sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa epilepsi tidak menular baik didalam negeri maupun luar negeri seperti negara Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan masih banyak lainnya. Dan hanya ada satu persen saja epilepsi didasarkan pada penyakit keturunanan.. Dan penderita epilepsi atau ayan bisa disembuhkan dengan pengobatan dan bedah saraf. Bahkan, diakuinya, penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau sebanyak 2 juta jiwa. Sebanyak 70% di antaranya dapat disembuhkan dengan menggunakan pengobatan secara teratur.Sementara 30% belum mampu diobati dengan mengonsumsi obat. "30% penyandang epilepsi bisa dibantu melalui operasi bedah saraf, dengan tingkat keberhasilan 90%," katanya.Proses bedah saraf bagi penderita epilepsi menurut Dharmawan sekarang sudah sangat canggih. Terutama epilepsi yang diakibatkan gangguan pada otak samping atau lobus temporalis, dikenal dengan epilepsi psikomotorik.







3.   Epilepsi dapat disembuhkan

                    Ahli bedah saraf dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dharmawan mengatakan, penderita epilepsi atau ayan bisa disembuhkan dengan pengobatan dan bedah saraf. Bahkan, diakuinya, penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau sebanyak 2 juta jiwa. Sebanyak 70% di antaranya dapat disembuhkan dengan menggunakan pengobatan secara teratur.Sementara 30% belum mampu diobati dengan mengonsumsi obat. "30% penyandang epilepsi bisa dibantu melalui operasi bedah saraf, dengan tingkat keberhasilan 90%," katanya.Proses bedah saraf bagi penderita epilepsi menurut Dharmawan sekarang sudah sangat canggih. Terutama epilepsi yang diakibatkan gangguan pada otak samping atau lobus temporalis, dikenal dengan epilepsi psikomotorik.
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).

       Secara umum, tujuan pengobatan epilepsi adalah untuk mengendalikan serangan epilepsi dengan cara pemberian obat-obat anti epilepsi ( OAE ) yang tepat, dalam dosis yang adekuat dan tanpa menimbulkan efek samping atau gejala-gejala toksik. Tetapi harus pula diperhatikan bahwa pengobatan anak dengan epilepsi juga bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas hidup mereka. Pengambilan keputusan untuk memulai pengobatan OAE sebaiknya dilakukan secara bersama oleh dokter dan keluarga penderita dengan mempertimbangkan resiko atau manfaat yang diperoleh bila penggunaan OAE ditunda atau segera dimulai.
      
Prinsip pengobatannya adalah adalah :

a.   Mengurangi serangan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
b.  Terari diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti
c.   Pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsinya
d.  Obat diupayakan tunggal
e.   Dosis minimal yang efektif
f.    Biaya terjangkau
g.   Terapi harus berdasarkan “evidense-based clinical praktice”




Manfaat dan kerugian pemberian obat anti epilepsi secara dini :

1)   Manfaat

       Pemberian OAE secara dini memberikan manfaat berupa terbebasnya penderita dariserangan, tetapi bagaimana engontrolnya setelah itu merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan. Pada penelitian yang membandingkan serangan ulang pada penderita anak dengan serangan tunggal yang diobati, dengan yang tidak diobati, terlihat bahwa pada anak yang mendapat pengobatan mempunyai resiko kambuh besar 25% dalam 2 tahun sejak mulai mendapat pengobatan OAE. Pada anak dengan trauma kepala, pemberian OAE dapat mencegah terjadinya serangan kejang, tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.


2)   Kerugian

      Penggunaan OAE dapat menimbulkan efek yang merugikan seperti efek samping terhadap ranah kognitif, perubahan tingkahlaku, teratogenik maupun sigma sosial yang menggangu disamping harganya yang mahal. Terjadinya efek samping obat yangmerugikan pada pasien sulit diprediksi sebelumnya, misalnya reaksi hipersensitivitas, depresi sumsum tulang atau gangguan fungsi hati. Efek samping ini sering mengharuskan pasien menghentikan pengobatan.

      Disamping itu diagnosa epilepsi kadang-kadang sulit dipastikan sehingga menyulitkan pemberian OAE. Penderita dengan serangan epilepsi yang tidak pasti sebaiknya diobservasi saja sampai diagnosa jelas, daripada menegakkan diagnosa dengan tetapi coba-coba.



4.   Cara memberikan pertolongan pertama pada penderita epilepsi.
Apa yang harus anda lakukan apabila di sekitar anda ada orang yang mengalami epilepsi yang disertai hilangnya kesadaran?
a.  Segera amankan penderita dari benda berbahaya
b.  kemudian Rebahkan dengan kepala miring ke samping
c.   Longgarkan baju agar tidak menutupi jalan pernafasan dan
d.  jangan memasukkan benda keras kedalam mulutnya.
e.  Biarkan Penderita Penyakit Epilepsi atau Ayan beristirahat dengan nyaman
f.   Jika penderita terluka atau terjadi serangan susulan terus menerus segera bawa ke dokter terdekat



BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan

  Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut 2 cara yaitu pada serangan dan sindrom epilepsi.
  Prinsip pengobatan epilepsi adalah : mengurangi serangan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, terapi diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti, pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsi, obat diudpayakan tunggal, dosis minimal yang efektif m (Uf, biaya terjangkau dan terapi harus berdasarkan “evidense based clinical practice”.
Pada pasien dengan banyak tipe serangan, pengobatan OAE dapat ditunda jika ada interval yang panjang diantara serangan-serangan tersebut atau jika tipe serangan diketahui jinak. Pengobatan dengan OAE dilakukan sampai penderita bebas serangan selama minimal 2 tahun, lalu dapat dihentikan secara bertahap dalam waktu dari 6-12 bulan.
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat, serangan timbul sangat sering sehingga pasien tidak pernah sadar.
Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan ini ditambah lagi dengan beberapa keadaan yang kurang menguntungkan misalnya hiperpireksia dan hipotesa yang akan menimbulkan kerusakan diserebelum. Epilepsi tidak menular dan bisa disembuhkan, maka jangan menjauhi penderita epilepsi.

B.        Saran
Karena bukan penyakit menular dan bisa disembuhkan, menurut dr Hardiono, penting untuk mengabarkan kepada semua orang untuk tidak mengucilkan penyandang epilepsi. Penyakit ini bisa diobati dan dikendalikan, supaya penyandangnya bisa menjalani hidup seperti kebanyakan orang lainnya.

          Perlu dihilangkan anggapan-anggapan mistis yang membayangi penyakit epilepsi. Ada yang memberi label kemasukan roh jahat, kesurupan, diguna-guna, atau bahkan kutukan. Persepsi salah semacam ini bisa menekan dan membuat penyandangnya depresi sehingga membahayakan keberhasilan perawatan.

          Amat disarankan untuk memberikan perawatan sedini dan setuntas mungkin bagi balita yang ditengarai menyandang penyakit epilepsi agar bisa diatasi sesegera mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Gandas Turi - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -