- Back to Home »
- tugas MAKALAH EPILEPSI BUKAN PENYAKIT MENULAR
Posted by : Unknown
Kamis, 19 Maret 2015
MAKALAH
EPILEPSI
BUKAN PENYAKIT MENULAR

Guru
Pembimbing ` : Dra.Endang Widiastuti
Disusun
oleh :
1.
Risyanti (22)
2. Zakiyah (26)
SMA
N 1 KEDUNGWUNI
Jalan Paesan
Utara Kedungwuni Kab. Pekalongan Telp. (0285)785434
Kata
pengantar
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, karena Penulis dapat menyelesaikan Makalah
yang berjudul “Epilepsi Bukan Penyakit Menular” , suatu permasalahan yang sering
dilupakan oleh banyak orang. Padahal dapat menimbulakan permasalahan yang cukup
besar.
Makalah
ini di susun berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah penulis lakukan
dengan mencari informasi di berbagai media, salah satunya internet. Makalah ini
di susun untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai penyakita
epilepsi dan untuk kembali mengingatkan masyarakat
untuk tidak menjauhi penderita epilepsi.Selain itu semoga setelah membaca
makalah ini masyarakat tahu bahwa epilepsi bukan penyakit menular.
Dalam
penyelesaian Makalah ini banyak kesulitan yang Penulis temui, seperti adanya
perbedaan pendapat pada setiap sumber yang Penulis temui . Namun Penulis
berusaha untuk menutupi kesulitan dalam pembuatan Makalah ini.
Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu
menyusun Makalah ini dari awal sampai akhir, kepada guru pembimbing Ibu Endang
Widiastuti ,dan tidak lupa pula kepada teman – teman.
Penulis
berharap Makalah ini dapat memenuhi tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan
bermanfaat bagi pembaca,dan bagi adik – adik kelas.Penulis berusaha menyusun
Makalah ini dengan sebaik mungkin, dan apabila dalam penyusunan Makalah ini ada
kesalahan dan kekurangan, penulis mengharapkan saran dan kritik nya.
Kedungwuni,
18 Februari 2013
Penulis
Daftar
Isi
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang ................................................................................................. 4
B. Perumusan
Masalah ......................................................................................... 5
C. Tujuan…………............................................................................................... 5
D. Metodologi
Penulisan........................................................................................5
BAB II ISI
A. Landasan Teori……………..........................................................................…6
1. Klasifikasi
epilepsi………….........................................................…...6
2. Sindrom epilepsi………………………………....................…………6
B. Pembahasan Masalah……………………….....................................................8
1. Penyebab epilepsi………………………………………………...........8
2. Epilepsi tidak
menular.....................................................................….10
3. Epileps dapat disembuhkan…..............................................................12
4. Cara memberikan pertolongan pertama pada penderita epilepsi..........12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…...................................................................................................13
B. Saran…….........................................................................................................13
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Epilepsi merupakan topik yang luas dan
berkembang cukup pesat. Pengetahuan kita mengenai epilepsi perlu sewaktu-waktu
disegarkan dan ditambah dengan informasi yang baru.
Epilepsi
adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang. International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif,psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit
epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi
bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan
“ilmu klenik”, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Serangan pertama pada sebagian besar
penderita epilepsi telah terjadi semasa anak-anak, sekitar 55 % terjadi sebelum
berusia 10 tahun. Untuk meningkatkan penaggulangan epilepsi secara keseluruhan,
perlu ditingkatkan penanggulangan epilepsi pada anak-anak dan remaja. Dalam
menangani epilepsi perlu diciptakan kerjasama yang baik antara orang tua,
pengasuh, dokter, penderita, anggota masyarakat yang bayak hubungannya dengan
penderita,misalnya guru di sekolah. Kerjasama yang baik berpengaruh positif
terhadap hasil terapi, baik dari segi perkembangan kepribadian, mental,
penyesuaian diri terhadap lingkungan, maupun dari segi mencegah kambuhnya
serangan.
Keputusan untuk memulai pengunaan obat-obat
anti epilepsi ( OAE ) pada seorang anak penderita epilepsi dapat mempunyai
dampak yang besar bagi kehidupannya dalam keadaan tertentu. Hal itu juga dapat
menjadi suatu konfirmasi final untuk diagnosa epilepsi, yang berarti penderita
tersebut harus memakai obat secara
terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang. Sejumlah penelitian dalam
beberapa tahun terakhir ini mengemukakan resiko berulangnya pada anak penderita
epilepsi yang berhenti minum OAE secara tiba-tiba begitu mereka bebas serangan.
B. Perumusan Masalah
1.
Apakah
penyebab epilepsi?
2.
Apakah
epilepsi adalah penyakit menular ?
3.
Apakah
penyakit epilepsi dapat disembuhkan ?
4.
Bagaimana
memperlakukan penderita epilepsi ?
C.Tujuan
Adapun
tujuan yang dari penulisan makalah ini yaitu dapat mengetahui tentang penyebab
epilepsi,untuk dapat mengetahui apakah epilepsi tergolong penyakit menular atau
bukan,untuk mengetahui apakah epilepsi dapat di sembuhkan atau tidak, dan untuk
mengetahui bagaimana cara memperlakukan penderita epilepsi.
D. Metodologi Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penulis
menggunaakan metodologi penulisan berupa pengumpulan data dari buku-buku mengenai lingkungan hidup, obat
herbal dan data dari internet. Sehingga apabila dalam penulisan makalah ini ada
kata-kata atau kalimat yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap
dimaklumi dan merupakan unsur ketidaksengajaan.
BAB II
ISI
A.Landasan Teori
Epilepsi
merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya
kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Epilepsi menurut
JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada
jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.
Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunnya
potensial membrane sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik
atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel
saraf tersebut.
1. Klasifikasi
epilepsi :
a.
Kejang
parsial ( fokal, lokal )
Ditandai
dengan gejala motorik, gejala somatosensoris seperti : halusinasi visual,auditoris
dan vertigo. Gejala perubahan kesadaran.
b.
Kejang
umum
Ditandai
dengan gejala perubahan kesadaran sementaradan gerakan klonik.
2.
Sindrom
epilepsi :
a. Benign Childhood Epilepsy With Centrotemporal Spikes.
pada usia 2-13 tahun, tersering antara 5-10
tahun, laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan. Serangan terjadi pada
anak normal. Terlihat dominasi gejala orofaringeal berupa salivasi, tidak dapat
bicara, gerak involunter mulut dan farings, suara tenggorok, kontraksi tonik
atau klonik lidah, dagu, atau salah satu sisi wajah, rasa baal atau parestesia
dagu, gusi dan lidah.
b. Epilepsi pada Anak dengan Paroksimalitas Oksipital
(Childhood Epilepsy with occipital Paroxysms)
terjadi pada usia 6 tahun, sebagai seranan
parsial dengan gejala visual dominan, berupa buta sejenak, halusinasi berbentuk
atau tidak berbentuk. Serangan dapat terbatas hanya pada gejala visual atau
terjadi serangan hemiklonik, parsial kompleks atau tonik-klonik umum. Pasca
kejang dapat terjadi sakit kepala, neusea dan muntah.
Ada beragam ekspresi serangan epilepsi seperti kejang,
gerakan tidak normal, dan aneh. Satu hal yang harus diingat, bahwa epilepsi
tidak selalu harus berarti kejang dan sebaliknya, kejang juga belum tentu epilepsi.
Gerakan yang timbul dapat hanya sebagai gerakan melamun saja, misalnya
tiba-tiba penderita menghentikan kegiatannya dan bola matanya seolah-olah
memandang jauh kedepan sampai gerakan aneh seperti gerakan melingkar, kepala
miring dan lengan lurus (keadaan ini disebut versif). Ada pula ekspresi
serangan berupa nyeri (pada kepala, lengan, punggung, dll), baal/kesemutan,
gangguan kesadaran, pelo, ngompol, muntah, berkeringat, atau mimisan.
Sebagai contoh, serangan yang sifatnya tonik klonik,
akan menimbulkan serangan berupa mendadak berteriak kemudian jatuh tak sadarkan
diri, seluruh tubuh kaku (tonik) kemudian menghentak-menghentak (klonik), bola
mata berputar ke atas, mulut berbuih, keluar keringat dingin, kulit kebiruan,
nafas dangkal atau terhenti. Serangan berlangsung beberapa menit. Ketika
serangan reda, nafas menjadi teratur kembali, kesadaran pulih secara bertahap
dan penderita tampak bingung.
Pada kasus yang lain, serangan bersifat absence
menunjukkan gejala berupa penderita menghentikan aktifitasnya secara mendadak,
mata terbuka seolah melihat jauh/melamun, kadang disertai gerakan mata
berkedip-kedip secara cepat dan mulutnya komat-kamit. Serangan ini berlangsung
selama beberapa detik kemudian penderita melanjutkan kembali aktifitasnya
seolah tidak terjadi apa-apa. Pada serangan absence ini penderita tidak sampai
jatuh.
Jika kita mendapati salah satu anggota keluarga atau
orang yang kita kenal menunjukkan tanda-tanda atau gejala yang mengarah pada
epilepsi, sebaiknya kita sarankan supaya berkonsultasi dengan dokter ahli.
Penderita akan diperiksa secara menyeluruh dan jika perlu dilakukan pemeriksaan
EEG (Electro Encephalography). Hendaknya penderita dan pihak keluarga bersikap
terbuka pada dokter dan menceritakan secara detail apa yang dialami penderita.
Keterangan tersebut akan sangat membantu dokter dalam menentukan diagnosis dan
terapi selanjutnya.
Perhatikan hal-hal apa saja yang bisa mencetuskan
serangan epilepsi pada penderita dan sebisa mungkin cegahlah supaya hal-hal
tersebut tidak mencetuskan serangan epilepsi. Misalnya saja, jika penderita
peka terhadap cahaya maka sebaiknya penderita tidur dalam kondisi lampu redup
atau dimatikan.
Penderita epilepsi berisiko tinggi mengalami cedera,
maka sebaiknya penderita tidak mengendarai kendaraan sendiri dan selalu
ditemani jika akan berpergian. Pada beberapa kasus, penderita yang sudah
terbiasa bisa mengetahui jika dirinya akan mengalami serangan sehingga dirinya
akan segera mencari tempat yang aman.
Berilah dukungan serta ingatkan untuk minum obat dan
kontrol secara teratur karena biasanya pengobatan untuk penderita epilepsi
membutuhkan waktu cukup lama. Mintalah dukungan lingkungan sekitar, dan
usahakan jangan sampai penderita dikucilkan. Jika penderita masih
sekolah, libatkan guru di sekolahnya supaya bisa memahami kondisi penderita,
terutama yang menyangkut masalah akademis. Biasanya penderita cenderung sering
izin tidak masuk sekolah karena sakit atau kontrol ke dokter. Pada
dasarnya penderita epilepsi tidak dilarang untuk bekerja.
B.Pembahasan Masalah
1. Penyebab epilepsi
Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang mengidap epilepsi. Mulai dari saat kehamilan,
ketika sang ibu mengalami gangguan seperti infeksi, demam tinggi, atau
malnutrisi.
Proses persalinan yang bermasalah atau telat bulan juga bisa mengurangi asupan zat asam atau gangguan otak lain, seperti infeksi atau radang selaput otak.
Selain itu, cedera di kepala janin akibat benturan fisik dan tumor, atau pun kelainan pembuluh darah pada otak juga bisa menyebabkan janin berpotensi mengidap epilepsi.
Meski banyak yang mengira epilepsi adalah masalah keturunan, namun hanya 1 persen dari total penyandang epilepsi yang mendapatkannya akibat genetika.
Serangan epilepsi seperti kejang-kejang disebabkan listrik abnormal di otak yang juga menyebabkan bentuk serangan lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran, dan perubahan lain yang hilang timbul. Gangguan listrik di otak tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan jaringan misalnya tumor otak, cedera kepala, atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi otak (menigitis, encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika serta sekitar 30 persen tidak diketahui penyebabnya.
Proses persalinan yang bermasalah atau telat bulan juga bisa mengurangi asupan zat asam atau gangguan otak lain, seperti infeksi atau radang selaput otak.
Selain itu, cedera di kepala janin akibat benturan fisik dan tumor, atau pun kelainan pembuluh darah pada otak juga bisa menyebabkan janin berpotensi mengidap epilepsi.
Meski banyak yang mengira epilepsi adalah masalah keturunan, namun hanya 1 persen dari total penyandang epilepsi yang mendapatkannya akibat genetika.
Serangan epilepsi seperti kejang-kejang disebabkan listrik abnormal di otak yang juga menyebabkan bentuk serangan lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran, dan perubahan lain yang hilang timbul. Gangguan listrik di otak tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan jaringan misalnya tumor otak, cedera kepala, atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi otak (menigitis, encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika serta sekitar 30 persen tidak diketahui penyebabnya.
2. Epilepsi bukan penyakit menular
Epilepsi sering diidentikkan dengan penyakit yang menakutkan. Padahal
epilepsi secara medis adalah penyakit akibat adanya gangguan pada otak.Pada
masyarakat awam, epilepsi lebih dikenal dengan nama ayan.
Penyakit ini sangat menakutkan bagi masyarakat, terutama mereka yang
berpendidikan rendah. Epilepsi bahkan dianggap sebagai penyakit kerasukan roh
hingga kegilaan yang parah.
Anggapan tersebut sebenarnya sangat beralasan karena jika pengidap epilepsi
yang parah bisa mendadak mengalami serangan dan mereka sanggup melukai diri
sendiri. Misalnya, membentur-benturkan kepala atau memukul-mukul tubuh mereka
sendiri.
Serangan itu diiringi pula dengan keluarnya busa di mulut dan kejang yang
berulang."Epilepsi sangat sulit dideteksi. Apalagi jika penderita
mendapatkan epilepsi dengan serangannya ringan, misalnya kaget tanpa sebab tapi
sering.
Epilepsi sebenarnya terjadi karena lepasnya muatan listrik yang berlebihan
dan mendadak pada otak sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke
bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu," kata dokter spesialis saraf
yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada, dr Yolanda Atmadja SpS.Awal kata
epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (epilepsia) yang berarti serangan.
Penyakit ini tidak menular dan bukan penyakit keturunan. Epilepsi juga
tidak identik dengan orang yang mengalami keterbelakangan mental. Bahkan,
banyak penderita epilepsi yang mendapatkan epilepsi tanpa diketahui
penyebabnya.
Sebenarnya, di dalam otak penderita epilepsi terdapat sel-sel saraf
(neuron), yang bertugas mengoordinasikan semua aktivitas tubuh, termasuk
perasaan, penglihatan, dan berpikir. Namun, bagi penderita epilepsi, otot saraf
tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadilah serangan yang membuat penderita
epilepsi mendapatkan kejang, terdiam sejenak, kaget dengan sangat hebat, hingga
kejang-kejang dengan busa di mulut.
Pada penderita epilepsi, saraf otak tidak berfungsi dengan baik.
Penyebabnya adalah trauma kepala (pernah mengalami cedera di daerah kepala)
ataupun tumor otak. Sering juga disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses
kelahiran, luka kepala, stroke, dan konsumsi alkohol berlebih ketika si ibu sedang
hamil.
Menurut Yolanda, seseorang dapat dinyatakan menderita epilepsi jika orang
tersebut mengalami kejang yang bukan karena alkohol dan tekanan darah yang
sangat rendah."Alat pendeteksi yang digunakan biasanya adalah MRI
(Magnetic Resonance Imaging) yang menggunakan magnet sangat kuat untuk
mendapatkan gambaran dalam tubuh atau otak seseorang. Bisa juga digunakan EEG
(Electro Encephalo Graphy) alat untuk mengecek gelombang otak," katanya.
Lalu, yang disayangkan, Yolanda menyebutkan, adalah pandangan masyarakat
terhadap epilepsi yang sangat buruk. Bahkan, secara umum, masyarakat di
Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi."Akibatnya, penderita
epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular
dan penyakit jiwa. Selain itu, epilepsi juga bukan karena kemasukan roh dan
bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan," sebut dokter berambut ikal
tersebut.
Senada dengan Yolanda, ahli bedah saraf dari Universitas Indonesia (UI) Dr
Dharmawan mengatakan,epilepsi tidak menular dan bukan penyakit keturunan.
Kemudian sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa epilepsi tidak
menular baik didalam negeri maupun luar negeri seperti negara Amerika Serikat,
Jerman, Inggris dan masih banyak lainnya. Dan hanya ada satu persen saja
epilepsi didasarkan pada penyakit keturunanan.. Dan penderita epilepsi atau
ayan bisa disembuhkan dengan pengobatan dan bedah saraf. Bahkan, diakuinya,
penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau sebanyak 2
juta jiwa. Sebanyak 70% di antaranya dapat disembuhkan dengan menggunakan
pengobatan secara teratur.Sementara 30% belum mampu diobati dengan mengonsumsi
obat. "30% penyandang epilepsi bisa dibantu melalui operasi bedah saraf,
dengan tingkat keberhasilan 90%," katanya.Proses bedah saraf bagi penderita
epilepsi menurut Dharmawan sekarang sudah sangat canggih. Terutama epilepsi
yang diakibatkan gangguan pada otak samping atau lobus temporalis, dikenal
dengan epilepsi psikomotorik.
3. Epilepsi
dapat disembuhkan
Ahli bedah
saraf dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dharmawan mengatakan, penderita
epilepsi atau ayan bisa disembuhkan dengan pengobatan dan bedah saraf. Bahkan,
diakuinya, penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau
sebanyak 2 juta jiwa. Sebanyak 70% di antaranya dapat disembuhkan dengan
menggunakan pengobatan secara teratur.Sementara 30% belum mampu diobati dengan
mengonsumsi obat. "30% penyandang epilepsi bisa dibantu melalui operasi
bedah saraf, dengan tingkat keberhasilan 90%," katanya.Proses bedah saraf
bagi penderita epilepsi menurut Dharmawan sekarang sudah sangat canggih.
Terutama epilepsi yang diakibatkan gangguan pada otak samping atau lobus
temporalis, dikenal dengan epilepsi psikomotorik.
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi
atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus
diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya
sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan
atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah
terjadinya kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang
kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan
biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus
merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis
tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi
juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk
membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah
menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di
daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita
tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas
dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa
bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya
dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan
kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak
berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi
(Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan
bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara
lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA
dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan
pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang
dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam
(Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin),
lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal),
fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine
(Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and
Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari
terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin.
Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam
memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi
selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain
yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya
efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif
sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau
cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya
yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator terhadapreseptor
NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA).
Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium
masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk
kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan
walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam
adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan
protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat
antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan
GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi
dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai
antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat
digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral
lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata
levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan
dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein
yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti
pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein
SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).
Secara
umum, tujuan pengobatan epilepsi adalah untuk mengendalikan serangan epilepsi
dengan cara pemberian obat-obat
anti epilepsi ( OAE ) yang tepat, dalam dosis yang
adekuat dan tanpa menimbulkan efek samping atau gejala-gejala toksik. Tetapi
harus pula diperhatikan bahwa pengobatan anak dengan epilepsi juga bertujuan
untuk mengoptimalkan kualitas hidup mereka. Pengambilan keputusan untuk memulai
pengobatan OAE sebaiknya dilakukan secara bersama oleh dokter dan keluarga
penderita dengan mempertimbangkan resiko atau manfaat yang diperoleh bila
penggunaan OAE ditunda atau segera dimulai.
Prinsip pengobatannya adalah adalah :
a. Mengurangi serangan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
b. Terari diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti
c. Pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsinya
d. Obat diupayakan tunggal
e. Dosis minimal yang efektif
f. Biaya terjangkau
g. Terapi harus berdasarkan “evidense-based clinical
praktice”
Manfaat dan kerugian pemberian obat
anti epilepsi secara dini :
1) Manfaat
Pemberian
OAE secara dini memberikan manfaat berupa terbebasnya penderita dariserangan,
tetapi bagaimana engontrolnya setelah itu merupakan hal yang paling penting
untuk diperhatikan. Pada penelitian yang membandingkan serangan ulang pada
penderita anak dengan serangan tunggal yang diobati, dengan yang tidak diobati,
terlihat bahwa pada anak yang mendapat pengobatan mempunyai resiko kambuh besar
25% dalam 2 tahun sejak mulai mendapat pengobatan OAE. Pada anak dengan trauma
kepala, pemberian OAE dapat mencegah terjadinya serangan kejang, tetapi tidak
dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.
2) Kerugian
Penggunaan
OAE dapat menimbulkan efek yang merugikan seperti efek samping terhadap ranah
kognitif, perubahan tingkahlaku, teratogenik maupun sigma sosial yang menggangu
disamping harganya yang mahal. Terjadinya efek samping obat yangmerugikan pada
pasien sulit diprediksi sebelumnya, misalnya reaksi hipersensitivitas, depresi
sumsum tulang atau gangguan fungsi hati. Efek samping ini sering mengharuskan
pasien menghentikan pengobatan.
Disamping
itu diagnosa epilepsi kadang-kadang sulit dipastikan sehingga menyulitkan
pemberian OAE. Penderita dengan serangan epilepsi yang tidak pasti sebaiknya
diobservasi saja sampai diagnosa jelas, daripada menegakkan diagnosa dengan
tetapi coba-coba.
4. Cara
memberikan pertolongan pertama pada penderita epilepsi.
Apa yang
harus anda lakukan apabila di sekitar anda ada orang yang mengalami epilepsi yang
disertai hilangnya kesadaran?
a. Segera
amankan penderita dari benda berbahaya
b. kemudian
Rebahkan dengan kepala miring ke samping
c.
Longgarkan baju agar tidak menutupi jalan pernafasan dan
d. jangan
memasukkan benda keras kedalam mulutnya.
e. Biarkan
Penderita Penyakit Epilepsi atau Ayan beristirahat dengan nyaman
f.
Jika penderita terluka atau terjadi serangan susulan terus menerus
segera bawa ke dokter terdekat
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang
tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi
medis dan psikososial.Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut 2 cara yaitu pada
serangan dan sindrom epilepsi.
Prinsip
pengobatan epilepsi adalah : mengurangi serangan untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita, terapi diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti,
pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsi, obat diudpayakan tunggal, dosis
minimal yang efektif m (Uf, biaya terjangkau dan terapi harus berdasarkan “evidense
based clinical practice”.
Pada pasien dengan banyak tipe serangan, pengobatan
OAE dapat ditunda jika ada interval yang panjang diantara serangan-serangan
tersebut atau jika tipe serangan diketahui jinak. Pengobatan dengan OAE
dilakukan sampai penderita bebas serangan selama minimal 2 tahun, lalu dapat
dihentikan secara bertahap dalam waktu dari 6-12 bulan.
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat,
serangan timbul sangat sering sehingga pasien tidak pernah sadar.
Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat
menimbulkan kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan ini ditambah lagi dengan
beberapa keadaan yang kurang menguntungkan misalnya hiperpireksia dan hipotesa
yang akan menimbulkan kerusakan diserebelum. Epilepsi tidak menular dan bisa disembuhkan, maka
jangan menjauhi penderita epilepsi.
B. Saran
Karena bukan penyakit menular dan
bisa disembuhkan, menurut dr Hardiono, penting untuk mengabarkan kepada semua
orang untuk tidak mengucilkan penyandang epilepsi. Penyakit ini bisa diobati
dan dikendalikan, supaya penyandangnya bisa menjalani hidup seperti kebanyakan
orang lainnya.
Perlu dihilangkan anggapan-anggapan mistis yang membayangi penyakit epilepsi. Ada yang memberi label kemasukan roh jahat, kesurupan, diguna-guna, atau bahkan kutukan. Persepsi salah semacam ini bisa menekan dan membuat penyandangnya depresi sehingga membahayakan keberhasilan perawatan.
Amat disarankan untuk memberikan perawatan sedini dan setuntas mungkin bagi balita yang ditengarai menyandang penyakit epilepsi agar bisa diatasi sesegera mungkin.
Perlu dihilangkan anggapan-anggapan mistis yang membayangi penyakit epilepsi. Ada yang memberi label kemasukan roh jahat, kesurupan, diguna-guna, atau bahkan kutukan. Persepsi salah semacam ini bisa menekan dan membuat penyandangnya depresi sehingga membahayakan keberhasilan perawatan.
Amat disarankan untuk memberikan perawatan sedini dan setuntas mungkin bagi balita yang ditengarai menyandang penyakit epilepsi agar bisa diatasi sesegera mungkin.
DAFTAR PUSTAKA