Posted by : Unknown Kamis, 19 Maret 2015



Nama        : Risyanti

Kelas         : XI ipa 1


Absen       : 22


Resensi buku fiksi 9 Summers 10 Autumns

Description: http://rumahbaca.files.wordpress.com/2011/10/novel-9-summers-10-autumns.jpg?w=236&h=300
Apa syarat sebuah buku menjadi national best seller? Seorang teman menanyakan hal itu ketika dia memegang buku “9 Summers 10 Autmns: Dari Kota Apel ke The Big Apple”  (Gramedia: 2011) dan hendak membelinya karena di sana ada tulisan “National Best Seller.”  Ternyata dia juga tergoda untuk mengambil dan membelinya. Lebih-lebih lagi, buku itu diberi label sebagai “Buku Fiksi Terbaik Jakarta Book Award 2011 IKAPI DKI Jakarta.”
Teman saya itu tak perlu befikir 2 kali lagi untuk menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk membeli buku itu. Maka kini ada lagi tambahan untuk “don’t judge the book by its cover,”
dengan tambahan “don’t judge the book by its label.”
Sebuah buku tak lebih sebuah karya yang bebas nilai. Maka “people judge” bisa saja sangat tergantung pada selera. Di lain pihak, kalau sebuah buku sudah masuk pada strategi dagang,  maka itu tak ada bedanya dengan produk yang selalu gencar menancapkan kata-kata pada produk itu dengan “kecap nomor satu.” Atau “produk inovasi baru.”
Sebuah buku, sebagus apapun, akan selalu punya penilaian yang berbeda-beda, dari setiap orang yang berbeda. Karena pengalaman yang ada di balik kepala masing-masing orang juga berbeda. Endapan pengalaman masa lalu, bisa memunculkan penilaian yang berbeda pula.
Maka bagi saya, membaca ”9 Summers 10 Autmns” memiliki penglaman personal yang berbeda dengan orang lain, tanpa harus direpotkan dan diganggu dengan label-label itu. Buku ”9 Summers 10 Autumns” bagi saya sudah berhasil membongkar masa lalu saya yang hampir serupa dengan sang penulis buku itu, meskipun saya tak melanjutkan kerja di New York. Tapi pengalaman masa lalu sang penulis yang dengan sabar menjalani masa kecil dengan segala keterbatasan, seolah mengajak saya tamasaya ke masa lalu saya juga. Betapa saya selalu mendambakan punya kamar sendiri, di mana saya mampu membangun kerajaan kecil untuk mimpi-mimpi saya. Tapi harapan itu tinggal harapan, karena impian untuk mendapatkan kamar sendiri itu baru saya peroleh ketika kuliah dan menempati kamar kos. Sejak kecil hingga SMA pun, saya harus rela berpindah-pindah tempat tidur, yang bisanya menempatkan tempat tidurpun di ruang tamu, dan lebih banyak tidur di bawah kaki kursi, yang sering mendapat ancaman serangga atau binatang berbahaya lainnya.
Anyway, kalau mau jujur  buku itu secara sastra memang indah, terutama ide sang penulis untuk menghadirkan anak kecil bersegaram baju  putih celana merah, yang tak lain adalah pecahan masa kecil sang penulis sendiri. Mereka berdua berdialog, seolah mengajak berdamai antara masa lalu dengan masa kini yang sepi.
Bagi saya, buku ini kemudian lahir sebagai media katarsis sang penuls yang kesepian di tengah hiruk pikuk Kota New York. Ini adalah meditasi pribadi sang penulis, yang kebetulan juga menyukai Yoga, untuk menyembuhkan luka-luka masa kecilnya.
Tapi, tone buku ini memang terkesan lambat dan lembut, sangat jauh beda dengan ala filem-filem  keluaran Hollywood  yang meledak-ledak. Tone buku ini mirip filem-filem Perancis yang lambat. Irama tone semacam itu mungkin saja dipilih untuk menyediakan ruang kontemplasi yang cukup.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Gandas Turi - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -