- Back to Home »
- resensi fiksi matilda
Posted by : Unknown
Kamis, 13 Februari 2014
Judul :
Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Enak rasanya
memahami dunia anak-anak dan berkecimpung di dalamnya. Anak-anak dapat berpikir
seperti orang dewasa, bahkan lebih bijak lagi tanpa meninggalkan citra
anak-anak yang suci dan polos. Itu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Ronald
Dahl kepada pembaca Matilda. Buku setebal 259 halaman yang tidak terasa tebal
jika dibaca ini menampilkan sosok Matilda, bocah 5 tahun yang hobinya membaca.
Buku-buku karya pengarang dunia seperti Charles Dickens, Voltaire, Hemingway,
Kliping, Tagori, Shakespiere sudah dibacanya saat umurnya belum genap 5 tahun.
Buku ini
menarik karena diberi ilustrasi yang menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan
memiliki adegan-adegan di luar batas kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah
SD yang tega menarik kepang rambut muridnya dan membuat anak itu seperti
baling-baling di atas kepala Kepsek hanya karena si anak tidak memotong rambut
keemasannya? (hlm. 123). Mungkinkah pula ada seorang Kepsek yang mempunyai
alat-alat untuk menghukum siswa bandel bak alat-alat penyiksaan di kamp Nazi;
dan menyuruh seorang anak kecil memakan kue tar coklat berdiameter 20 cm? Dan
rasanya tidak ada di dunia ini orangtua menganggap anak perempuannya yang
bungsu (Matilda) sebagai bisul yang mengganggu (hlm. 10).
Meskipun
cerita-ceritanya memberi kesan menyeramkan, kala membacanya kita tidak merasa
merinding karena gaya penceritaan dibuat seringan mungkin, sesuai dengan
sasaran pembaca buku ini, yaitu anak-anak SD di Inggris sana. Yang mungkin agak
membuat pembaca Indonesia bingung adalah siapa sasaran pembaca buku ini. Dalam
katalog, buku ini dikatagorikan sebagai fiksi anak-anak. Namun, mengingat
jumlah halaman dan kosakatanya, buku ini terasa berat bagi anak-anak SD di
Indonesia.
Matilda
menceritakan seorang anak berumur 5 tahun yang memiliki kepandaian di atas
ukuran orang dewasa. Sialnya, kepandaiannya ini tidak diperhatikan orangtuanya
karena mereka tergolong orangtua yang menganggap anaknya sebagai kutu yang
menjijikkan. Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda tidak berguna dan bodoh
(hlm. 27). Hampir separoh kisah Matilda bercerita tentang ”pembalasan” Matilda
terhadap sikap dan ucapan orang tuanya. Dengan kemampuan supernya, yaitu mampu
menggerakkan barang hanya dengan pikiran saja, Matilda berhasil membantu Miss.
Honey mendapatkan rumah dan uangnya yang diambil Kepala Sekolah SD, Ibu
Thrunchbull.
Pembalasan
Matilda dimungkinkan terjadi karena selain cerdas, Matilda juga banyak membaca.
Matilda yang tersia-sia ini akhirnya tinggal dengan Miss. Honey, gurunya,
karena orangtuanya dan kakaknya pindah ke Spanyol akibat kasus kejahatan yang
mereka lakukan. Ronald Dahl tampaknya menekankan pentingnya kegemaran membaca.
Tokoh-tokoh baik dan pintar dalam buku ini adalah orangorang yang gemar
membaca, sedangkan tokoh-tokoh jahat seperti orangtua Matilda dan Kepsek adalah
orang-orang yang hobinya bermain.